Karya Guru Pembimbing 1
Bulan Ke-3 (1 Januari s.d 30 Januari 2023)
Novy Citra Pratiwi, S.Pd
Judul : Segmen Waktu
Jenis karya : Cerpen
Aku selalu mengambil tempat yang
jarang terjangkau keramaian. Karena, dengan begitu aku bisa kembali mengenang
banyak hal tentangnya dengan begitu baik. Ada selembar kertas yang dia tinggalkan di kenangan hari itu, yang membuatku tersenyum karena ada namaku dalam guratan-guratan tinta
yang dia tulis di atasnya.
Pertama kali aku mengenalnya, aku
segera menge-capnya sebagai ‘Si Anak Bengal’ yang tidak pernah ingin kusebut namanya.
Penampilannya urakan, pakaiannya tidak pernah dan tidak akan rapi sampai Guru
BP meneriaki namanya dan menghukumnya. Dia datang sebagai
anak baru saat aku berada di sekolah menengah atas, kami berada di kelas yang
sama. Aku tidak membencinya, tapi mungkin saja dia sudah menandaiku sebagai musuh
di kali pertama pertemuan kami tanpa alasan yang kuketahui.
Dia sudah tujuh kali masuk ruangan
BP saat baru bersekolah selama tiga bulan. Dan kebanyakan aku terlibat di
dalamnya.
Aku begitu ingat, saat itu panas matahari
yang terik tengah menyiram lapangan upacara. Ruang terbuka yang dikelilingi oleh
bangunan kelas berbentuk huruf U itu seakan menyala, memberi tahu, atau bahkan
mengancam, siapa pun yang menjejaknya, dia akan terbakar. Namun, aku tidak bisa
menghindarinya. Aku berlama-lama diam di lapangan upacara untuk menurunkan
tasku yang berada jauh di pucuk tiang bendera. Si Anak Bengal yang tidak mau
kusebut namanya itu memberi tahu dengan secarik kertas bahwa dia baru saja menggerek
tasku menggantikan posisi bendera latihan yang sejak jam istirahat berkibar.
Saat berhasil kuturunkan, dari balkon
lantai dua, suara tepuk tangan terdengar. Si Anak Bengal itu bersorak untuk
keberhasilanku. Sebagai gantinya, aku mengacungkan kepalan tangan dengan mata
melotot, memberi tahu bahwa aku akan mengejarnya untuk memberikan tinju.
Sesaat setelah aku berlari dari
lapangan upacara untuk mengejarnya, aku dapati Si Anak Bengal itu tertawa dan kabur
dari kejaranku.
Hari berikutnya, aku ingat saat itu
hujan turun begitu deras dan aku hanya bisa menunggu reda di bawah naungan
kanopi halte sekolah. Sepi, orang-orang sudah menaiki jemputan dan berbagai
angkutan umum sementara aku masih menunggu bus yang biasa mengantarku pulang.
Namun, tiba-tiba sebuah tarikan di pergelangan tangan membuat tubuhku berbaur
dengan air hujan. Si Anak Bengal itu pelakunya, dia tertawa begitu keras
melihat wajahku yang panik karena dalam sekejap tubuhku basah kuyup oleh air hujan.
“Semua bukuku basah!” teriakku.
Dia, anak laki-laki itu, segera mengeluarkan
jaketnya dari dalam tas dan merungkupkannya ke kepalaku. Setelahnya, dia
menarik tanganku, mengajakku ke arah parkiran untuk menemukan motornya yang terparkir
di sana. Lalu, "Aku antar pulang,” ujarnya, tanpa meminta persetujuanku.
Setelahnya, aku tidak menemukan keberadaan Si
Anak Bengal selama satu minggu di sekolah. Seharusnya hidupku tenang, karena
aku tidak lagi menemukan masalah dalam hidupku selama tujuh hari ini. Namun,
saat aku sedang berada di salah satu sudut ruangan perpustakaan, tiba-tiba saja
seseorang hadir dan duduk di sisiku.
Si Anak Bengal itu lagi, dia datang entah
dari mana asalnya, karena sejak tadi aku sibuk menekuri buku yang halamannya
tidak kubuka sejak sepuluh menit lalu. “Aku cari-cari kamu,” ujarnya. Tiba-tiba
saja dia mengeluarkan sepasang earphone dan menyelipkannya satu di telingaku. Setelah
itu, tanpa menunggu responsku, dia bergerak menelungkup, menyimpan wajah di
antara dua lengannya yang terlipat.
Ada suara lagu yang mengalun dari earphone
di telinga kiriku, berbaur dengan suara air hujan di luar jendela yang kacanya
terbuka, angin bertiup, menampakkan Taman Botani sekolah yang kini basah dengan daun yang
bergoyang-goyang diterpa angin dan air.
Sejak hari itu, aku tidak tahu apa
yang terjadi, tapi setiap hari, saat datang ke sekolah hal yang pertama
kulakukan adalah memeriksa kehadirannya. Dan hari ini, sudah sepuluh hari dia
tidak datang ke sekolah sejak kami menghabiskan waktu berjam-jam berdua di
perpustakaan untuk melihat air hujan.
Waktu pulang sekolah tiba. Aku berjalan
di trotoar setelah melewati gerbang sekolah. Ada tawa dan obrolan yang saling
bertumpang tindih, bising, sementara aku mengurung diri dalam duniaku sendiri. Ke
mana perginya Si Anak Bengal selama sepuluh hari ini? Kenapa dia tidak datang
ke sekolah dan tidak lagi menggangguku?
Lalu, tiba-tiba saja sebuah mobil
menepi. Pintunya yang terbuka membuat langkahku terhenti, seorang wanita paruh
baya turun dan berjalan ke arahku. Tersenyum. Dia bertanya, “Windry, ya?” Setelahnya,
dia mengenalkan diri. Bicara akan banyak hal. Lalu, pergi meninggalkanku bersama
selembar kertas yang dia berikan.
Ada kalimat yang dia ucapkan sebelum
benar-benar pergi, “Gilang sudah pergi dengan tenang setelah melewati sakit
kanker yang menyakitkan. Tapi … terima kasih karena sudah menjadi alasan Gilang
bertahan."
Gilang, nama Si Anak Bengal itu, dan
wanita paruh baya tadi adalah ibunya.
Aku tertegun, terpaku di antara lalu
lalang orang-orang. Tanganku yang gemetar membuka selembar kertas yang
kuterima. Di dalamnya, kubaca pelan-pelan.
Gilang’s Notes
TO DO LIST:
1.
Sekolah.
2.
Menjadi
anak nakal dan masuk ruang BP.
3.
Menjahili
cewek paling pintar di kelas.
4.
Membonceng
cewek ketika hujan.
5.
Masuk
ke perpustakaan.
6.
Melihat
hujan berdua.
7.
Jatuh
cinta.
8. Terima
kasih, Windry.
Kututup kertasnya. Empat tahun sudah
berlalu. Dulu, sering aku lewati dengan tangisan jika mengingatnya. Namun kali ini …
aku tersenyum. Karena ... setiap membaca kertas itu, aku tahu bahwa setiap
segmen yang Gilang lewati, aku hadir di dalamnya. Dan akhir dari segmen
waktunya, dia jatuh cinta, padaku.